FIQIH MUAMALAH 2
MAISIR, GHARAR, DAN
RIBA
DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK 2
1.
BUNGA
NUR INDA SARI (1416142138)
2.
OKTA
NOVIYANTI (1416142161)
Lokal: PBS 4A
DOSEN
PENGAMPUH:
KHAIRIAH EL WARDAH.
M.Ag
PRODI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) BENGKULU
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Maisir, Gharar,
dan Riba” dengan baik meskipun masih banyak terdapat kekurangan didalam
makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenaibukti-bukti kebesaran Allah, dan juga fenomena-fenomena alam yang terjadi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenaibukti-bukti kebesaran Allah, dan juga fenomena-fenomena alam yang terjadi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Bengkulu,
Maret 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR...................................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 4
A. Latar
Belakang........................................................................................................ 4
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................... 5
C.
Tujuan Penulisan...................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 6
A. Pengertian
Maisir..................................................................................................... 6
B. Hukum
Pelarangan Maisir....................................................................................... 6
C. Pengertian
Gharar dan Jenis-Jenisnya..................................................................... 7
D. Hukum
Pelarangan Gharar...................................................................................... 9
E. Pengertian
Riba Dan Jenis-Jenisnya........................................................................ 10
F F. Hukum
Pelarangan Riba.......................................................................................... 14
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 15
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 15
B. Saran........................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang
komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi
Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam
banyak ayat, antara lain: (Q.S 5:3, 6:38, 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan
manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang
ekonomi cukup banyak dan ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah
ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang
masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang
terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al-Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi
ayat ini mengandung 52 hukum/masalah ekonomi).
Sejak zaman Rasulullah saw semua bentuk perdagangan
yang tidak pasti (uncertainty) telah dilarang, berkaitan dengan jumlah yang
tidak ditentukan secara khusus atas barang-barang yang akan ditukarkan atau
dikirimkan. Bahkan disempurnakan pada zaman kejayaan Islam (bani Umayyah dan
Abbasiyah) dimana kontribusi Islam adalah mengidentifikasi praktik bisnis yang
telah dilakukan harus sesuai dengan Islam, selain itu mengkodifikasikan,
mensistematis dan memformalisasikan praktik bisnis dan keuangan ke standar
legal yang didasarkan pada hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Pelarangan gharar, maisir dan riba semakin relevan
untuk era modern ini karena pasar keuangan modern banyak mengandung usaha
memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain (dalam asuransi konvensional, pasar
modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian). Dimana
setiap usaha bisnis pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari. Sistem
inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik
dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang
melalukan transaksi dalam pasar keuangan.
Dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang
konsep dasar dan defenisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “gharar,
maisir, dan riba.”
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
Pengertian Maisir dan Hukumnya?
2. Apakah
Pengertian Gharar Dan Hukumnya?
3. Apa
Saja Jenis-Jenis Gharar?
4. Apakah
Pengertian Riba dan Hukumnya?
5. Apa
Saja Jenis-Jenis Riba?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian Maisir Dan Hukumnya
2. Untuk
Mengetahui Pengertian Gharar Dan Hukumnya
3. Untuk
Mengetahui Jenis-Jenis Gharar
4. Untuk
Mengetahui Pengertian Riba Dan Hukumnya
5. Untuk
Mengetahui Jenis-Jenis Riba
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Maisir
Maysir
adalah transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan. Identik dengan kata maysir adalah qimar. Menurut
Muhammad Ayub, baik maysir maupun qimar dimaksudkan sebagai permainan
untung-untungan (game of chance). Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan
maysir adalah perjudian. [1]
Kata Maysir
dalam bahasa Arab secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah
tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga
disebut berjudi. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu
transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa
yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan
transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.
Agar bisa dikategorikan judi maka
harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:
1. Adanya
taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi.
2. Adanya suatu
permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah.
3. Pihak yang
menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak
yang kalah kehilangan hartanya.
·
Contoh Maysirnya ketika sejumlah orang masing-masing
membeli kupon Togel dengan “harga” tertentu dengan menembak empat angka. Lalu
diadakan undian dengan cara tertentu untuk menentukan empat angka yang akan
keluar. Maka, ini adalah undian yang haram, sebab undian ini telah menjadi
bagian aktivitas judi. Di dalamnya ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang
dan yang kalah di mana yang menang mengambil materi yang berasal dari pihak
yang kalah. Ini tak diragukan lagi adalah karakter-karakter judi yang najis.
·
Hukum Maisir
Niat tidak menghalalkan cara berjudi untuk membantu
orang yang memerlukan. Al-maysir (Perjudian) terlarang dalam syariat Islam,
dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’. Dalam al-Quran, terdapat firman
Allah subhanahu wa Ta’ala yaitu :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman! sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs.
al-Ma’idah: 90)
Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu:
“Barangsiapa
yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh denganmu.’ maka
hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)”
Dalam hadis ini, Nabi Muhammad saw menjadikan ajakan
bertaruh baik dalam pertaruhan atau muamalah sebagai sebab membayar kafarat
dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan.
B.
Pengertian
Gharar
Gharar
merupakan larangan utama kedua dalam transaksi muamalah setelah riba.
Penjelasan pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia no.10/16/PBI/2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syari’ah dalam kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta
Pelayanan Jasa Bank Syari’ah memberikan pengertian mengenai Gharar sebagai
transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan
kecuali diatur lain dalam syari’ah.
Gharar
mengacu pada ketidakpastian yang disebabkan karena ketidakjelasan berkatan
dengan objek perjanjian atau harga objek yang diperjanjikan didalam akad. Sedangkan
definisi menurut beberapa ulama :
a. Imam Syafi’i
: Gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan
akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak
dikehendaki.)
b. Wahbah
al-Zuhaili: Gharar adalah penampilan yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu yang
tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.
c. Ibnu Qayyim:
Gaharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun
tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar.
·
Contoh
Gharar[2]
Imam
malik mendefinisikan gharar sebagai jual beli objek yang belum ada dan dengan
demikian belum dapat diketahui kualitasnya oleh pembeli. Contohnya : jual-beli
budak belian yang melarikan diri; jual-beli binatang yang telah lepas dari
tangan pemiliknya; atau jual-beli anak binatang yang masih berada dalam
kandungan induknya. Menurut Imam Malik, jual-beli tersebut adalah jual-beli
yang haram karena mengandung unsur untung-untungan (Ayub, 2007:58).
·
Jenis-Jenis
Gharar[3]
Dilihat dari peristiwanya, jual
beli gharar yang diharamkan bisa ditinjau dari tiga sisi, yaitu:
1. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum),
seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan ternak).
2. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul),
baik yang mutlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya menjual barang dengan
harga seribu rupiah,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang: “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga
sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga
karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “Aku jual tanah
kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
3. Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. Seperti jual beli budak
yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga terjadi
pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
·
Hukum
Gharar
Dalam
syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi. “artinya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam melarang jual beli al-hashah dan jual
beli gharar.”[4]
a. Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar
yang menyolok (al-gharar alkatsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak
perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual beli mulaamasah, munaabadzah,
bai’ al-hashah, bai’ malaqih, bai’ al madhamin, dan sejenisnya. Tidak ada
perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
b. Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar
ringan (al-gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka
ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad. Contohnya seseorang membeli rumah
dengan tanahnya
c. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan
pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu
yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun
masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian
mereka diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin
dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya.
Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap
permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang
besar kepada pihak lain. Oleh karena itu dapat dilihat adanya hikmah larangan
jual beli tanpa kepastian yang jelas (Gharar) ini. Dimana dalam larangan ini
mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap
permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis jual beli ini.
C.
Pengertian
Riba
Menurut etimologi riba berarti az-ziyadah. Artinya tambahan. Sedangkan
menurut terminologi adalah:
اَلرِّبَافىِ
الشَّرْعِ هُوَ فَضْلُ الخَالٍ عَنْ عِوَضِ شَرْطٍ ِلأَحَدٍ العَاقِدَيْنِ
“Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan
bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).”
Diantara akad jual beli yang
dilarang dengan pelarangan yang keras antara lain adalah riba. Riba secara
bahasa berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian. Sedangkan
menurut terminologi syara’, riba berarti : “akad untuk satu ganti khusus tanpa
diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama
dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.”[6]
Dengan demikian riba menurut
istilah ahli fiqh adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis
tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba, karena
tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba
didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan dengan nama “riba” dan
al-qir’an datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan yang diambil
sebagai ganti rugi dari tempo, qatadah berkata: “sesungguhnya riba orang
jahiliyah adalah seseorang menjual satu jualan sampai tempo tertentu dan ketika
jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak bisa membayarnya dia menambah hutangnya
dan melambatkan tempo.”
·
Jenis-Jenis
Riba[7]
1.
Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang
yang sama jenisnya dengan kualitas berbeda yang disyaratkan oleh orang yang
menukarkan.
contoh : tukar menukar emas dengan emas, perak
dengan perak, beras dengan beras dan
sebagainya.
2.
Riba Yadd, yaitu berpisah dari tempat sebelum ditimbang dan diterima,
maksudnya : orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelum ia menerima
barang tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual
beli seperti itu tidak boleh, sebab jual beli masih dalam ikatan dengan pihak
pertama.
3.
Riba Nasi’ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang
berhutang disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh : Aminah meminjam cincin 10 Gram pada Ramlan. Oleh
Ramlan disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram,
dan apa ila terlambat 1 tahun, maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan
seterusnya. Ketentuan mbelambatkan pembayaran satu tahun.
4.
Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan
syarat ada keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami atau yang memberi
hutang.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
- Hukum Riba
Ayat yang melarang riba :
a. Surat Ali
Imron ayat 130
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman!7 janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
b.
Al-Baqarah ayat 275 :
...
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ....
Artinya: Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
c. Surat
Al-Baqarah ayat 276 :
Artinya: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
shadaqah.
d.
Hadis
عَنْ جَابِرٍ
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ
(رواه المسلم)
“Dari jabir,
Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannya, penulisnya dan yang
menyaksikannya (H.R. Muslim).”
e.
Hadis
عبدة قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ
ص م. يَنْهَى عَنْ بَيْعِ اَلذَّهَبِ بِالذَّهَبِ وَاْلفِضّةِ بِالْفِضَّةِ
وَالبِرَّ بِالبِرِّ وَالسَّعِيْرِ بِالسَّعِيْرِ وَالتَّمَرِ بِالتَّمَرِ
وَالمِلْحِ بِالمِلْحِ اَلاَسَوَاءً بِسَوَاءٍ عَيْنًا بِعَيْنٍ فَمَنْ اَزْدَا
اوْاِزْدَادَقعد ازلى
“Ubadah berkata; saya mendengar
rasulullah SAW. Melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama
(dalam timbangan/takaran) dan kontan. Barang siapa melebihkan salah satunya, ia
termasuk dalam praktek riba.” (Ubadah bin Al-Shamit )
Larangan riba yang terdapat dalam Al
Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap:
·
Tahap pertama, menolak anggapan
bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang
memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .
Surat Ar-Rum ayat 39
وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًۭا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا
يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ تُرِيدُونَ وَجْهَ
ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
Artinya: Dan suatu riba (tambahan)
yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
masudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikin) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
·
Tahap kedua, riba digambarkan
sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada
orang Yahudi yang memakan riba. Seperti tertera dalam Al-qur’an yaitu:
“Maka
disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
·
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan
dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
ٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟
ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَٰفًۭا مُّضَٰعَفَةًۭ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah agar kamu beruntung.”
(Q.S. Ali Imran: 130).
·
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas
mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah
ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
ٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم
مُّؤْمِنِينَ
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
(QS Al-Baqarah : 278)
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
”Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS
Al-Baqarah : 279).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata
Maysir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang
biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah
kata `azlam` yang berarti perjudian.
Maksud
al-Gharar ialah “Ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi
muamalah ialah: “Terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak
dan ianya boleh menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak
yang lain”. Menurut Ibn Rush maksud al-Gharar ialah: “Kurangnya maklumat
tentang keadaan barang (objek), wujud keraguan pada kewujudkan barang, kuantiti
dan maklumat yang lengkap berhubung dengan harga. Ia turut berkait dengan masa
untuk diserahkan barang terutamanya ketika wang sudah dibayar tetapi masa untuk
diserahkan barang tidak diketahui”. Ibn Taimiyah menyatakan al-Gharar ialah:
“Apabila satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa
yang sepatutnya dia dapat”.
Riba
secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
bathil. Secara juristikal, riba mengandung dua pengertian:
·
Tambahan uang yang
diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang tersebut dengan uang yang sama,
misal dollar for dollar excange.
·
Tambahan nilai uang
pada satu sisi yang sedang malkukan kontrak tatkla komoditas yang
diperdagangkan secara barter itu pada jenis yang sama.
B.
Saran
Melalui makalah
ini kami harapkan pembaca dapat mengetahui tentang maisir, gharar, dan riba.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul
Muhammad Azzam. 2010. Fiqh Muamalat
Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam. Jakarta: AMZAH.
Muhammad,
Ash-Shawi Shalah Muhammad. 2008. Problematika
Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin,
Jakarta: Migunan
Remy, Sutan Sjahdeini. 2014. Perbankan Syar’iah Produk-produk dan Aspek-aspek hukumnya. Jakarta:
Kencana.
http://kangmasgalihpermadi.blogspot.co.id/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html,
tanggal akses: 30 maret 2016
[1] Sutan remy sjahdeini, 2014, PERBANKAN SYARIAH produk-produk dan
aspek-aspek hukumnya, Jakarta:kencana Prenamedia Group, hlm.171
[2] Ibid, Sutan remy sjahdeini,
hlm. 169.
[3]
http://kangmasgalihpermadi.blogspot.co.id/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html,
tgl akses: 30 maret 2016
[5] Ash-Shawi, Muhammad
Shalah Muhammad, 2008, Problematika Investasi pada bank Islam
solusi ekonomi; penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin, Jakarta: Migunani, hlm. 289
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010, fqih muamalat system transaksi
dalam islam, Jakarta: AMZAH, hlm. 215